Kita mungkin sepakat kalau kita akan sering menangis ketika mendengar cerita tentang pengorbanan seorang Ibu, atau mungkin karena memang lebih banyak cerita-cerita tentang pengorbanan Ibu dibandingkan Ayah. Namun apakah kita akan tetap biasa-biasa saja ketika mendengar cerita tentang pengorbanan Ayah? Mungkin iya, atau mungkin tidak.
Di usia sekarang, ketika sudah memiliki anak dan sudah tidak memiliki Ayah karena telah berpulang -semoga Allah memberikan tempat terbaik untuk beliau- pandangan saya tentang Ayah berubah banyak.
Di masa-masa terakhir almarhum Bapak hidup, ketika saya merenunginya lebih dalam, ada sisi rapuh yang sebenarnya mulai terlihat, tetapi karena image Bapak selama beliau hidup adalah orang yang kuat, saya tidak menyadari itu. Sampai-sampai saat-saat terakhir beliau masuk ke rumah sakit karena Covid, lalu saya diminta menandatangani surat persetujuan yang jelas tertera bahwa kalau Bapak meninggal maka keluarga harus memakamkan dengan prosedur Covid dan tidak boleh melihatnya lagi, saya dengan santai menandatangani surat itu. Image Bapak di kepala saya adalah orang yang kuat. Bapak pasti sembuh dan kumpul bersama kami lagi di rumah. Lalu malamnya beliau meninggal, ada perasaan menyesal yang mengendap di diri saya cukup lama.
Sangat banyak Ayah yang diam-diam ternyata memiliki penyakit kronis tetapi menyimpannya rapat-rapat agar keluarganya merasa aman. Sangat banyak Ayah yang diam-diam ingin sekali memeluk anak-anaknya yang sudah beranjak dewasa namun ditahan karena malu, image Ayah adalah kuat. Sangat banyak Ayah yang diam-diam ingin sekali diajak ngobrol sebagai seorang manusia, bukan sosok yang super power di keluarga.
Bagaimanapun Ayah juga manusia. Punya air mata, punya perasaan, punya rasa ingin dicintai dan dimengerti.
***
Pagi tadi, di hari Ayah, saya menemani anak pertama ke sekolah. Beberapa hari sebelumnya mungkin anak-anak di sekolah memang sudah mempersiapkan hadiah untuk hari Ayah. Pertama sekali dia memberikan piala yang juga berisi cap tangan, lalu mereka menyanyikan lagu tentang Hari Ayah bersama-sama.
"I love my daddy, I love my daddy I love my daddy, yes I do. Here's a kiss and a hug for you Thank you daddy for all you do Happy Father's Day, Happy Father's Day Happy Father's Day, I love you."
Hampir 3,5 tahun saya berusaha membuat tembok untuk tidak menangis di depan anak, tetapi hari ini tembok itu runtuh. Ada rasa haru dan menyesal yang menyeruak hebat. Haru karena si anak menyanyikan lagu itu untuk saya dan menyesal karena saya tidak pernah seumur hidup saya bilang kalau saya sayang ke Ayah.
Seharusnya sewaktu beliau masih hidup saya harus lebih banyak memeluknya.
Di hari ini juga saya belajar bahwa mengungkapkan rasa sayang dari anak ke orangtua adalah hal yang seharusnya dinormalisasikan. Sebagai Ayah sekali-kali juga perlu menunjukkan sisi rapuh.
Dan hari Ayah seharusnya menjadi pengingat, sebagai manusia ayah pun juga punya kelenjar air mata. Ayah boleh kok sekali-kali menangis atau sekadar berkaca-kaca.
Selamat Hari Ayah
