Wahid Sabillah's

Personal Blog

Eskalator

2 comments
Setelah dinyatakan lulus dari sidang tugas akhir dengan dukungan dari teman-teman, tibalah saatnya saya mendukung teman-teman lain yang berusaha lulus dari sidang tugas akhir.

Hari ini saya pergi ke kampus yang berada di pusat Jakarta tempat diadakannya sidang tugas akhir. Kampus lain yang baru tiga kali saya sambangi selama empat tahun saya berkuliah di Depok. Saya datang kesana sekitar pukul sebelas siang, kala jalanan Jakarta yang saya duga sudah agak lengang ternyata masih saja macet dimana-mana.

Sepanjang jalan menuju kampus dari rumah, saya tertarik mengingat kembali kejadian apa saja yang sudah saya alami sebelum dinyatakan lulus sidang tugas akhir enam hari yang lalu. Ternyata perjalanan itu cukup panjang, bolak-balik ke dosen pembimbing, mencetak kertas revisi beberapa kali, pergi survey ke kantor tempat saya mengambil data, dan tentu tidak sedikit uang yang saya habiskan selama saya menyelesaikan tugas akhir itu. Saya teringat berapa banyak keluhan yang saya keluhkan kepada teman-teman saya, dan saya juga teringat tentang keluhan dari teman-teman saya yang diutarakan kepada saya.

Tugas akhir ini secara tidak langsung mengeratkan hubungan pertemanan diantara saya dan teman-teman. Saling memberikan support, saling membantu membagi fikiran, agar kami semua bisa lulus bersama-sama. Tugas akhir ini mengajarkan saya tentang seberapapun beratnya tugas, kalau tugas itu dipikul bersama-sama lambat-laun semua tugas itu akan selesai.

Sesampainya di kampus tempat diadakannya sidang tugas akhir, suasana di sana masih sepi, mahasiswa belum banyak terlihat berseliweran di ruang tunggu. Masih banyak mahasiswa yang belum mendapatkan giliran maju untuk sidang sepertinya. Saya memutuskan untuk duduk di tangga lobby kampus untuk menunggu teman saya yang sedang sidang. Di sana saya melanjutkan ingatan tentang perjalanan tugas akhir lagi. Saya ingat betul berapa kali saya harus mondar-mandir menemui dosen pembimbing tugas akhir, tidak kurang dari sepuluh kali saya bolak-balik menemuinya. Saya ingat betul saat pertama kali menemui dosen pembimbing tugas akhir. Hari itu hari Jum’at, saya bersama seorang teman yang dosen pembimbingnya sama menunggu dosen pembimbing di depan ruangan tempatnya bekerja. Saya dan teman saya menunggu kurang lebih empat puluh lima menit, dan baru bisa menemui dirinya yang memang salah satu dosen tersibuk di kampus. Ketika bertemu dengannya, saya mengajukan judul tugas akhir yang akan saya buat, dan tanpa penolakan, judul tugas akhir saya di terima. Pertemuan pertama saya dengan dosen pembimbing tugas akhir tidak sampai sepuluh menit.

Di tempat saya menunggu teman saya sidang, ada seorang mahasiswa yang tidak saya kenal datang dan duduk di samping saya.

“Nungguin temannya juga mas?” pertanyaannya kepada saya. 

Saya hanya membalas dengan kata “Iya”. Jujur, sebenarnya saya lagi tidak ingin diganggu dulu, ritual mengingat tugas akhir ini belum selesai, saya masih butuh waktu untuk sendiri dan menikmati ingatan-ingatan ini.
“Sudah sidang mas?” tanyanya lagi.

“Sudah”

“lulus?”

Saya mengangguk, dan berkata “Alhamdulillah”.

“Saya belum sidang nih mas, masih banyak yang harus di urus, belum memenuhi syarat untuk sidang…” lalu kemudian mengalirlah curhatan dari mulutnya tentang dirinya yang malas-malasan pergi ke kampus, tentang dirinya yang mengaku salah jurusan, tentang perkuliahan yang membosankan, sampai dengan curhatan tentang beberapa dosen yang pernah memberikan nilai E kepadanya.

“Sudah kerja mas?” tanyanya lagi kepada saya.

Wahai teman sekampusku, sejujurnya saya sudah bekerja semenjak umur lima tahun. Shoting pergi pagi dan pulang pagi lagi bukankah suatu pekerjaan? Karna takut merasa tinggi hati, dan ditanya panjang lebar tentang shoting-shotingan maka saya urungkan jawaban itu kepadanya. Saya hanya menggeleng untuk menjawab pertanyaan darinya.

“Saya sudah bekerja mas, tapi freelance, part time. Ngumpulin duit lebih enak mas dari kuliah,” dia terkekeh setelah berkata seperti itu. “Mau kerja apa lanjut S2 mas?” tanyanya lagi.

“Kerja”

Dan dia sudah tidak bertanya lagi setelah itu.

Ingatan tentang tugas akhir berpindah setelah mengingat curhatan darinya tentang belum bisa mendaftar sidang karena belum memenuhi syarat untuk maju sidang. Beberapa teman saya juga ada yang belum bisa maju sidang karena terkendala oleh belum terpenuhinya syarat sidang. Sewaktu kuliah, mereka memilih bekerja, atau tidur di rumahnya masing-masing saat kelas sedang ada kuliah.

Pilihan itu semua diserahkan kepada kita mahasiswa, mau datang perkuliahan atau tidak itu adalah hak dari setiap mahasiswa. Tetapi harus diingat, walaupun mau atau tidaknya mahasiswa mengikuti perkuliahan adalah hak, terselip kewajiban seorang anak yang dituntut orang tua untuk secepatnya menyandang gelar sarjana. Walaupun terdengar klise, tetapi begitulah kenyataan yang ada.

Dalam hidup ini kita berpacu dengan waktu, secara hakikat setiap detik dalam hidup ini sendi-sendi kita berangsur menua. Setiap menit secara tidak langsung kita dipaksa menjadi dewasa. 

Saya menyimpulkan kalau hidup ini seperti eskalator menanjak yang sangat besar yang menuju satu titik diatas. Setiap orang yang baru lahir langsung ada di eskalator tersebut. Perlahan tapi pasti kita mulai naik mengarungi perjalanan eskalator. Saat dewasa, saat kita mulai berfikir masa muda adalah harta yang sangat berharga dan menolak untuk menua, kita berusaha melawan arus eskalator yang sudah berjalan sejauh itu, berapa? 20 tahun? 21 tahun? Tetapi perjalanan itu sudah sangat lama, walaupun kita berlari melawan arus, apakah kita mampu berlari melawan arus selama 20 tahun atau 21 tahun? Dan di tambah kecepatan kita berlari tidak secepat arus escalator yang secara kontinyu terus melaju, terlihat kita melawan arus atau berusaha tetap di tempat, tetapi secara hakikat kita terus berjalan maju, walaupun kita menolak untuk maju.

Di eskalator itulah orang-orang yang menyadari dan mengikuti arus ditempa dan dipaksa berfikir untuk bagaimana mengarungi eskalator tersebut dengan suasana yang menarik. Ya dengan mereka bersekolah, berkuliah, bekerja, menikah, mempunyai keturunan, dan sempilan-sempilan pengalaman yang kita buat dan ciptakan selama berada di escalator tersebut. Sampai pada suatu titik tempat dimana kita mati, tetapi eskalator itu terus berjalan.

“Abi!” terdengar suara teman saya yang ternyata sudah selesai sidang sekitar lima belas menit yang lalu dan sedari tadi sedang ngadem di dalam mobilnya.

“Gimana? Lancar sidangnya?” Tanya saya kepadanya.

“Lancar, revisinya ini…” dia menjelaskan tentang revisi sidang yang memang besar kemungkinan didapat oleh mahasiswa yang selesai menjalankan sidang tugas akhir.

*** 

Jam setengah tiga siang tiba, pengumuman kelulusan diumumkan. Dan teman-teman saya yang hari ini sidang tugas akhir, dinyatakan lulus semua. 

Eskalator ini terus melaju, dan saya tidak tahu apa yang akan terjadi di kedepannya, seperti teman sekampus saya yang tadi duduk bersama saya di lobby kampus yang tidak tahu kapan dia bisa maju sidangnya.
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

2 comments:

  1. Alhamdulillah ya bisa lulus bareng-bareng nih. Saya udah semester 7 nih mau ngehadapin yg ginian sebentar lagi.
    Dan lebih asyik kayaknya kalau naik eskalatornya ada si dia sebagai pendampingnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semangat mas. Si Dia itu siapa ya mas? Pendamping saya untuk wisuda ini kayaknya orang tua saja mas. hahaha

      Delete