Wahid Sabillah's

Personal Blog

Surat Yang Salah Alamat

Leave a Comment
“Hai, apakabar?”
Sepucuk surat datang pagi ini ke rumahku. Diantar oleh pak pos yang ku kira dia salah mengantarkan surat –yang ternyata alamat surat ini yang salah. seharusnya nomer 13, tetapi kamu menuliskan angka 12. Sudah jauh-jauh kamu kirimkan surat ini, tetapi hanya berisi “Hai, apakabar?” pun salah alamat. Aku tidak tahu kekhilafan apa yang menimpamu sampai-sampai kamu akhirnya mengirimkan surat kepadaku, setelah 30 surat aku kirimkan kepadamu, dan tak pernah kamu balas satupun.

Aku sedang menebak, kira-kira apa tujuanmu mengirimkan surat ini. Apakah kamu rindu dengan surat-surat yang aku kirimkan? Atau mungkin kamu ingin aku kembali jatuh cinta buta, dan kemudian merengek-rengek seperti dalam beberapa surat yang aku kirimkan agar kamu mau bercerai dengan selingkuhanmu dan kembali menerima diriku sebagai kekasihmu?

Kalau itu maumu aku sudah tidak bisa. Aku sudah kebal. Aku sudah cukup.

Envelope By Google
Adinda, awalnya aku memang mengharapkan belas kasihmu, awalnya aku rela merengek, menangis sekuat tenaga agar kamu mau bercerai dengan selingkuhanmu dan menerimaku sebagai kekasihmu lagi. Tapi pemujaanku terhadapmu luntur perlahan bersamaan dengan surat-surat yang aku kirimkan.

Aku merasa cintaku kepadamu sudah apkir, kuno, klise, kampungan. Aku lelah Adinda. Aku lelah untuk terus mengharapkan cintamu. Aku seperti pecandu cinta yang sakaw, hampir mati, mau koit, is dead dan disana kamu seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Adinda, aku menyadari cintaku dulu kepadamu seperti cinta di lagu anak-anak –cinta yang terus memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia. Tetapi model cinta seperti itu sudah tidak berlaku lagi sekarang. Seperti cinta yang kamu punya, sekarang cinta seperti barang obralan, dijajakan di jalan-jalan. Cinta dijual di toko-toko, penjajanya berteriak “Cinta cinta sepuluh ribu tiga cinta.” Mungkin begitulah cinta yang modern, cinta yang kekinian, bukan cinta yang hanya memberi tak harap kembali.

Adinda, kalau aku bisa memutar waktu, aku ingin sekali memukul dirimu waktu itu. Saat aku melihat kamu pergi ke kota bersama selingkuhanmu, lalu akhirnya kamu menikah, kemudian bercerai, dan sekarang kamu mengirimkan surat aneh ini kepadaku.

Aku teringat janji yang pernah kita ucapkan di pematang sawah, di bawah langit merah menyala ketika senja, janji untuk setia, sehidup semati. Janji agar di kemudian hari kita menikah, lalu berangan-angan mempunyai anak tiga. Yang satu lelaki dan kemudian kembar –padahal silsilah keluarga kita tidak ada yang lahir kembar. Adinda, ternyata janji itu palsu, seminggu berselang kamu pergi ke kota bersama selingkuhanmu, dan melupakan aku.

Adinda, mengirim surat kepadamu adalah kebodohan terbesar yang aku buat. Air mataku terbuang mubazir, uang-uang untuk mengirim surat kepadamu hilang percuma. Adinda, walaupun harga amplop dan perangko tidak sampai sepuluh ribu rupiah, tetapi kalau kamu mau berpikir dan mau menghitung berapa jumlah uang mubazir yang aku habiskan untuk membeli amplop dan perangko –amlop 500, perangko 5000 dikali 30 –maka cukup banyak uang mubazir yang aku habiskan hanya untuk mengirimkan surat yang tidak pernah kamu balas. Itu baru amplop dan perangko Adinda, belum dengan pena yang aku habiskan, tenaga yang aku keluarkan untuk menulis surat panjang-panjang kepadamu.

Mungkin sekarang kamu ingin pulang lagi ke desa, karena selingkuhanmu sudah tambah modern. Cinta nya bukan lagi sepuluh ribu tiga, tetapi sepuluh ribu empat. Mempunyai empat istri dan banyak anak. Sehingga kamu memilih bercerai daripada dijadikan istri ke dua yang setiap bulan hanya dikunjungi sekali –itupun kalau kamu menelponnya. 

Kamu pasti bertanya, mengapa aku bisa tahu semua perkembanganmu? Mengapa aku bisa tahu alamat rumahmu yang berbeda sehingga aku bisa mengirimkan surat-surat yang mungkin hanya masuk tong sampah rumahmu yang berbau busuk? Tetangga disini membicarakanmu Adinda, mereka selalu tahu perkembangan darimu, mereka selalu up-to-date mereka bilang tahu dari fesbuk, twitter, blog –yang aku tidak mengerti apa itu fesbuk, twitter, dan blog.

Adinda, setiap mereka memberikan kabar kepadaku tentang dirimu belakangan ini, aku hanya bisa tertawa puas, tertawa lebar, kadang-kadang aku tertawa sambil berguling-guling di tanah. Aku menertawakanmu, aku senang mendengarmu sengsara, aku bahagia mendengarmu nelagsa, seperti kamu senang melihat surat-suratku yang berisi rintihan, kesedihan, kepedihan datang kepadamu dan tidak kamu balas.

Maaf Adinda, mungkin aku terlalu berlebihan kepadamu. Tetapi inilah caraku melampiaskan kekesalanku kepadamu. Karena cintaku yang kamu buang. Karena 30 surat yang tidak pernah kamu balas. Dan hari ini aku menerima sepucuk surat salah alamat dari dirimu, yang hanya berisikan kalimat “Hai, apakabar?” –yang aku tidak habis pikir mengapa hanya itu yang kamu tuliskan.

Maaf Adinda, sekali lagi maaf. Bukan karena aku lelaki bangsat. Aku berharap kamu tetap berada di kota, tempat di mana kamu ingin bahagia, tempat di mana kamu ingin modern, dan tempat di mana semua tujuan dari surat-suratku yang tidak pernah kamu balas.
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 saran:

Post a Comment