Malam ini saya digerakan oleh hati saya untuk menulis hasil rekam ingatan saya selama bulan September. Dengan iringan lagu September Ceria-nya Vina Panduwinata yang baru saya sadari, ternyata melodi di intronya manis sekali.
Dimulai dari awal September yang masih dengan sibuk mengerjakan tugas akhir, sampai saya mendapatkan surat ACC pertengahan September, mendaftar sidang, lalu kemudian sidang tugas akhir, dan dinyatakan lulus. Suatu pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan dalam hidup saya. Perjalanan menulis tugas akhir adalah perjalanan yang tidak hanya menguras tenaga, waktu, dan uang. Perjalanan menulis tugas akhir adalah perjalanan yang juga membutuhkan kesabaran, dan ketekunan. Mau tidak mau, suka tidak suka, saya yang selalu teringat senyum Ibu Bapak terpacu untuk segera menyelesaikan tugas akhir saya. Sampai tibalah saat sidang, dan dinyatakan lulus.
Pertengahan September tepatnya tanggal lima belas, umur saya bertambah. Sebelumnya saya berniat untuk bisa maju sidang awal September, tetapi Tuhan punya kehendak lain. Pada tanggal lima belas September saya dinyatakan bisa mendaftar sidang, dan itu suatu kado yang tidak ternilai harganya di hari bertambahnya umur saya.
***
Linimasa saya belakangan ini dipenuhi dengan kalimat "Vina Panduwinata bohong. September Ceria ternyata juga drama." Kalimat itu banyak muncul ketika DPR resmi meresmikan RUU PILKADA yang setiap hari menjadi headline di surat kabar, yang setiap hari dibahas di media elektronik, di berita-berita pagi, siang, sore, malam.
Saya yang menggilai prosesi sungguh merasa kecewa dengan orang-orang yang merusak keceriaan di bulan September. Saya, atau kamu yang sedang membaca tulisan ini dan lahir di bulan September pasti tidak suka dengan perilaku orang-orang yang merusak keceriaan September. Senyuman yang harusnya ada di bulan September berubah menjadi cibiran dan makian kepada sekelompok manusia yang haus kekuasaan yang hanya memikirkan kepentingan kelompoknya dibandingkan dengan rakyatnya, dan jujur, saya menyalahkan semua itu kepada kalian wahai sekelompok orang yang haus kekuasaan. Kalian harus bertanggung jawab setelah merusak keceriaan ini, keceriaan saya, keceriaan kami, keceriaan kita semua.
Kurang dari satu jam lagi bulan ini akan berganti. masih ada cerita yang harus saya tandaskan disini.
Di minggu akhir September ini, tepatnya tanggal dua puluh tujuh. Air mata saya tumpah di sepanjang jalan Salihara Pejaten. Setelah pulang menemani sahabat saya dari sidang tugas akhir, dan teman saya dinyatakan lulus, saya di ajak mampir ke salah satu tempat di jalan Salihara Pejaten. Sebelumnya saya tidak tahu saya akan di ajak kemana, sahabat saya cuma bilang kalau dia ingin mampir sebentar. Sampai saya tahu sesampainya di tempat itu, ternyata tempat yang saya sambangi bersama sahabat saya adalah rumah yatim.
Saya tinggal di motor yang diparkir di halaman rumah yatim itu. Sahabat saya masuk ke kantor tempat tamu yang ingin bersedekah. Lumayan lama dia berada di dalam kantor itu. Segerombolan anak lelaki yang kurang lebih usia mereka delapan tahun berlari dari dalam rumah. Salah satu dari mereka terpeleset dan jatuh tepat di dekat saya. Dia bangun, dan tersenyum ke arah saya, warna hati saya berubah kelabu. Kemudian segerombolan anak itu melakukan hompimpa, lalu mereka mulai bermain kejar-kejaran. Tanpa komando, tanpa aba-aba, air keluar dari pelupuk mata saya. Ingatan saya terbang ke beberapa tahun yang lalu, saat saudara saya yang masih kecil ditinggal oleh kedua orangtua-nya. Sesaat kemudian hati saya membisikan tentang keberuntungan, nikmat Ilahi yang mungkin sudah tidak dipunyai oleh segerombolan anak itu, saya diingatkan untuk bersyukur, kedua orangtua saya masih lengkap, mereka dirumah sedang menunggu saya pulang.
Sampai saat ini, saya tidak habis fikir, apa yang akan terjadi kepada diri saya, jika suatu saat nanti orangtua saya satu persatu pergi meninggalkan saya untuk selama-lamanya. Semoga mereka diberikan keberkahan dan umur yang panjang oleh-Nya.
Sepanjang jalan pulang, perasaan itu terus muncul, senyuman anak itu terus menghantui saya, dan hati saya terus membisikan nikmat Ilahi tentang orangtua saya yang masih lengkap. Tak kuat hati saya menampung semua bisikan itu, segelontor air keluar deras dari mata saya lagi.
***
September telah pergi... lima belas menit yang lalu. September ini menyisakan berbagai macam warna dan cerita. Kalau ditanya "Apakah September masih Ceria?" Semua tergantung kita, mau memilih untuk kembali ceria atau terus terlarut dalam duka. Saya percaya kalau September masih akan terus ceria. Walaupun dirusak oleh disahkannya RUU PILKADA, tetapi masih ada rasa keceriaan tentang saya lulus berkuliah, tentang bertemu anak yatim yang mengingatkan saya untuk terus berbakti kepada orangtua.
Sampai jumpa lagi September, semoga bisa bertemu di lain waktu.
Selamat Datang Oktober.
Bye September, sampai jumpa tahun depan.
ReplyDeleteSemoga kita diketemukan oleh September tahun depan ya mas.
DeleteCie yang di PHPin sama DPR :D
ReplyDeleteAku benci mas, jujur aku benciiiiiiiiii :D
Delete