Wahid Sabillah's

Personal Blog

Sepotong Roti Untuk Pacarku

4 comments
Tidak pernah sekalipun malam minggu kulewati tanpa bersama pacarku. Sudah dua bulan aku dan dia berpacaran, setelah seminggu sebelumnya aku putus dengan pacarku yang dulu. Mengapa begitu? Satu alasan logis yang aku punya mengapa aku berani berpacaran dengannya seminggu setelah aku putus. Wajahnya mirip dengan mantan pacarku.

Malam minggu-ku dengannya jauh dari kata modal. Harap di maklum, aku anak perantauan. Uang bulanan kiriman dari Emak di kampung saja kadang hanya cukup untuk makan di warung sunda dengan lauk tempe, sayur, dan kerupuk tok. Kalau mau makan enak, aku harus menanggung hutang atau tidak makan satu minggu di akhir bulan. Dalam kamus hidupku, walaupun susah makan yang penting punya pacar, dan malam mingguan tidak sendirian di kosan nonton teve yang hidup segan mati-pun enggan.

Setiap malam minggu datang aku selalu punya agenda kencan, tak terkecuali malam minggu kali ini. Dengan memakai kemeja panjang kotak-kotak, celana khaki, dan rambut yang diolesi Tanco yang boleh minta sama tetangga kos adalah dandanan gaya baru yang aku yakini pacarku akan terpesona. Sebelum mengunjungi rumahnya kubelikan dirinya roti seribuan di warung di depan kos dan kumasukan roti itu kedalam tas selempang kecil yang aku punya, walau kere tetapi image tidak pelit dan perhatian harus tetap dijaga.

Rumahnya tidak jauh dari kosanku. Sekitar lima belas menit berjalan kaki, atau delapan sampai sepuluh menit kalau naik angkot dari depan gang kosan. Aku memilih naik angkot kali ini.

Sesampai di depan gerbang rumahnya yang berwarna hitam dan menggerak-gerakan lonceng yang dijadikan sebagai bel, keluarlah dirinya. Ia keluar dengan piyama, dengan raut muka yang tidak enak, ada yang tidak beres.

"Lo gak usah ketemu gue lagi deh," Katanya dengan nada tinggi.

Hatiku berkata, Ada apa ini? apakah kamu lagi datang bulan? atau kamu sedang kesambet setan pinggir jalan yang sering kamu ceritakan.

"Sebentar... memang... ada apa ya?" aku bertanya polos kepadanya.

"Intinya kita gakusah ketemu lagi, sekarang... kita selesai." Dia menghambur masuk kerumahnya lagi, tanpa membukakan pagar hitam ini. 

Sial! dandananku sudah sekeren ini, tetapi ditolak untuk masuk, ditambah disemprot dengan alasan yang tidak jelas, dan parahnya cintaku kembali kandas. 

Ku rogoh kantong celanaku, melihat apakah ada sisa uang untuk pulang ke kosan, dan yang kutemukan hanya dua logam dua ratus perak dan selogam seratus perak. Lima ratus perak? berarti aku harus jalan untuk sampai ke kos.

Lima langkah dari tempatku beranjak, mataku silau karna sorotan lampu dari mobil yang datang. Sebuah mobil BMW dua pintu berwarna merah melintas disampingku, membuka kaca jendelanya, dan terdengar teriakan dari mobil itu.

"Woy culun, mau kemana lo? muahahaha" Suara yang aku kenal, suara si Delon. Anak kelas sebelah yang kepalanya gundul dan lagunya kayak dunia punya nenek moyangnya. Selalu pamer mobil, motor, dan ngakunya barang-barang mewah itu punya dia sendiri, hasil dari bisnis MLM yang berhasil.

Aku hanya diam dan tidak menanggapi.

"Woy culun, lo mau kerumah pacar lo ya? Pacar lo itu temen baik gue, lo cuma di jadiin bahan observasi sama dia," 

Terdengar suara pintu dari rumah Nadia terbuka.

"Eh udah dateng lo, masuk lah," Kata Nadia kepada Delon.

Aku semakin bingung, selama dua bulan aku berpacaran dengannya, dan aku baru tau kalau si Delon anak belagu yang kerjanya pamer mobil hasil dari MLM adalah sahabatnya.

"Loh kok, kamu kenal sama dia?" aku menunjuk ke arah Delon.

Nadia tersenyum licik, menghampiriku, dan menepuk-nepuk pundakku "Iya, dia emang sabahat gue. Terimakasih lho buat dua bulanan ini, observasi gue selesai."

"Observasi? Maksud kamu?"

"Gue kan lagi ngerjain tugas akhir, judul tugas akhir gue kan tentang Kebiasaan Anak Rantau, terimakasih lo udah mau jadi bahan observasi gue."

Mendengar perkataan Nadia hatiku sakit.

"Jadi, selama ini, kamu cuma manfaatin aku?"

"Udahlah gak usah drama lo," Kata Delon.

"Kamu diem aja gundul, jangan ikut campur urusan orang."

Tanpa ba-bi-bu bogem mentah dari Delon mendarat telak di pipi kiriku, aku pun tersungkur, dan susah bangun. Ku lihat, Nadia menarik tangan Delon untuk segera masuk kerumahnya. Resmi aku di tinggal dalam keadaan susah bangun, dan pipi kiri yang rasa sakitnya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Dengan susah payah, akhirnya aku berhasil bangkit. Aku menendang mobil BMW punya si gundul itu sebagai pelampiasan perasaan kesal sekaligus sedih. Bukan puas yang aku dapatkan, malahan kaki ku sendiri yang sakit. SIAL!

Sepanjang jalan pulang ke kosan, hatiku sakit. Ucapan dari Nadia kalau aku hanya sebagai alat observasi tugas akhirnya begitu menyesakkan dada. Aku ingin menangis, tetapi malu karena jalanan menuju kosanku terang dan rame orang. Aku tidak habis fikir, malang sekali nasibmu wahai Adit bin Madit.

Sesampainya di kosan, aku langsung menghempaskan badanku ke kasur. Sambil menikmati pipi kiriku yang masih sakit dan ternyata sedikit memar. Perutku lapar, dan aku teringat roti yang tadinya aku beli untuk pacarku, yang tepatnya sekarang sudah menjadi mantan pacarku. Ku buka tas selempangku, kujumpai roti itu sudah berbentuk tidak karuan. Ringsek dan benyek. Aku makan roti itu, biarlah aku menyempurnakan kemalangan ini, kemalanganku sempurna, seorang Adit bin Madit yang pipinya bonyok, melahap roti yang sudah ringsek dan benyek.
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

4 comments:

  1. njiirr ceweknya minta digantung di pohon toge -___-
    untung cuman fiksi yak T^T

    ReplyDelete
  2. wah kasian cuma di jadiin bahan tugas akhir, eh gw juga ada tulisan yang ujung2nya cuma jadi bahan tugas akhir judulnya "Derita Mahasiswa Abadi"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih sudah mau mampir, wah judulnya "Derita Mahasiswa Abadi". Dari judulnya aja udah ngenes ya mas.

      Delete