Beberapa malam yang lalu, saya menghabiskan beberapa jam di teras rumah dengan melamun. Di temani oleh nyamuk dan kopi 1..2. 1 sendok kopi dan 2 sendok gula. Kopi pertama saya di hari itu. Saya bukan maniak kopi, hanya saat-saat tertentu saja saya membuat kopi. Saat saya tidak ada kerjaan misalnya, atau saat saya butuh sendiri, dan melamun seperti beberapa malam yang lalu.
Lamunan saya pada malam itu terbang dan jatuh ke secangkir kopi panas yang saya pegang erat. Saya teringat dengan kopi pagi yang biasa Ibu buatkan untuk Bapak, saya teringat Filosofi Kopi nya Dee, saya teringat kopi di Tulungagung, es kopi yang saya beli di pinggir jalan dan akhirnya saya sakit perut, kopi basi, kopi tubruk, kopi mahal, dan... kedai kopi yang saya impikan.
Saya teringat sewaktu saya SD, saya sering mencuri-curi untuk meminum kopi pagi punya bapak. Nenek saya tidak begitu suka kalau saya meminum kopi, alasannya sangat tidak logis, karena saya masih kecil. Dan kalau alasan karena masih kecil terus menjadi alasan utama tidak bolehnya saya minum kopi, sampai sekarang seharusnya saya belum boleh minum kopi, karena nenek saya tetap menganggap cucu-cucu nya masih kecil, walaupun saya sekarang sudah menginjak usia dua dua.
Saya juga teringat dengan perdebatan adik dan bapak saya tentang kopi luwak di suatu malam. Adik saya berasumsi kalau kopi luwak adalah biji kopi yang dimakan oleh luwak, kemudian biji kopi itu tidak dapat dicerna oleh si luwak, biji kopi tersebut keluar bersama feses luwak, lalu biji kopi tersebut diambil, dicuci, lalu diproses. Bapak saya menyangkal asumsi adik saya itu, bapak saya menganggap kopi luwak adalah biji kopi yang dimakan luwak, kemudian biji kopi itu tidak dapat dicerna, lalu biji kopi tersebut keluar bersama feses luwak, dan biji kopi itu tumbuh menjadi pohon kopi. Saya yang mendengarkan perdebatan antara bapak dan anak itu hanya bisa mangap sambil mendengarkan. Perdebatan itu berakhir dengan kesepakatan untuk mencari di google tentang kebenaran si kopi luwak, dan bapak saya harus menerima kenyataan kalau asumsinya salah.
Banyak orang yang bilang kopi di cafe itu enak, kopi di cafe anu tidak enak. Jujur, saya tidak paham dengan enak dan tidak enaknya rasa kopi. Yang saya tahu rasa kopi awalnya sama. Pahit. Dan bisa manis kalau ditambah gula, krimmer, atau susu. Bagi saya yang awam soal kopi, semua kopi sama, dari kopi sachet yang bermerek alfabet, logo kapal, logo luwak, sampai kopi mahal yang cafenya berlogo ratu, semuanya sama. Kopi yang digiling pake mesin grinder yang seharga motor baru dibayar kontan, atau kopi yang ditumbuk dengan alat sederhana seperti di rumah kakek saya di Tulungagung bagi saya semuanya sama. Awalnya pahit, dan bisa manis kalau ditambahkan gula, susu, atau krimmer. Dan satu lagi, rasa kopi bisa enak kalau diminum dalam suasana yang pas pula, seperti beberapa malam yang lalu, saat saya melamun di teras rumah.
Sebenarnya, ritual melamun malam itu berasal dari buku Filosofi Kopi nya Dee yang sudah sering kali saya baca. Saya sangat terkesan dengan buku itu. Di samping karena buku tersebut adalah kumpulan cerita dan prosa dari penulis favorit saya, buku itu juga menjelaskan arti dari kopi yang sebenarnya dalam bentuk cerita. Walaupun seberapa mahalnya kopi, kopi tetaplah kopi, memiliki rasa pahit ketika diminum. Sama dengan hidup, seberapa mulus dan indahnya perjalanan hidup manusia, pasti tersempil rasa pahit dalam perjalanannya.
Filosofi Kopi saya lahap dalam sehari. Sepulang saya kuliah sekitar dua tahun yang lalu, saya yang tidak biasa membaca buku berubah seperti orang kesurupan yang tidak bisa berhenti membaca buku sampai larut malam. Dengan tutur kata yang mudah dimengerti, maksud cerita yang mudah dipahami, dan sisipan metafora yang manis, membuat saya betah berlama-lama, dan berkali-kali membaca cerita di buku itu. Surat Yang Tak Pernah Sampai menjadi cerita yang paling saya gemari, Salju gurun menjadi prosa yang membuat saya bangga dengan beda yang saya punya, Rico de Coro menjadi cerita fantasi yang membuat hati saya tergerak membuat cerpen Masto de Masquito.
Dari Filosofi Kopi saya mendapatkan pelajaran tentang hidup, tentang cinta, tentang perbedaan, tentang kemerdekaan, tentang menulis, tentang surat yang tidak sampai, tentang imajinasi. Filosofi Kopi menjadi buku kedua Dee yang saya baca sesudah Rectoverso. Dari Filosofi Kopi inilah hati saya benar-benar tertambat oleh buku, oleh sastra, dan saya percaya dari aksara manusia bisa merubah pandangan manusia. Dari buku ini juga saya belajar bercerita, belajar tutur bahasa, belajar bermetafora, sampai akhirnya saya bisa menuliskan tulisan ini, dan beberapa tulisan yang lalu. Dari kopi saya juga mengambil pelajaran hidup. sepahit apapun kopi, kalau kita mau menuangkan gula, susu, atau krimmer, kopi itu akan menjadi enak untuk diminum. Begitupun hidup, sepahit apapun hidup manusia, kalau manusia mau berusaha, cepat atau lambat pasti manusia akan menemukan bahagia.
Buat gue, secangkir kopi itu sebuah kenangan, kenyataan pahit juga kisah muram yang akan hilang bersama kepulan asapnya.
ReplyDeleteFilosofi nya keren. Terimakasih sudah mampir :)
DeleteKopi gak bisa lepas setiap hari dari kehidupan gue, karena setiap adukannya mengandung cinta. Alah.. btw bro kopinya manis baget tuh, coba lo pake formasi 2-1 kayak resep gue, yaitu 2 sendok kopi dan 1 sendok gula
ReplyDeleteSetiap orang punya filosofi sendiri-sendiri ternyata ya tentang kopi. Manis? gak ah. Tapi nanti dicoba 2-1 deh.
DeleteYang menarik dan tiada duanya adalah aroma kopinya
ReplyDeleteBenar sekali mbak. Aroma kopi memang tiada duanya. Terimakasih Mbak sudah mau mampir lagi :D
Delete