Wahid Sabillah's

Personal Blog

Ini Masalah Eksistensi

Leave a Comment
Kemarin salah seorang teman berkicau dan lewat di linimasa. Ia berkicau tentang susahnya mencari kerja di Jakarta. Dan beberapa hari yang lalu juga saya menemukan curhatan teman tentang susahnya mencari pekerjaan. Padahal menurut beberapa teman HR malah mereka yang susah mencari karyawan. Lalu mengapa kedua-dua nya mengalami kesusahan? pasti ada yang salah.

Usut diusut ternyata semua itu kembali kepada sumber daya manusia yang tidak mumpuni. Ditambah lagi banyak orang yang ingin cross pekerjaan dari pendidikannya. Contohnya seperti saya, lulusan IT ingin bekerja di Media, dan beberapa teman saya yang dari Media ingin bekerja di IT. Inilah masalah timbulnya susah mencari kerja dan mencari karyawan. Kendati sebenarnya mereka yang mencoba keluar dari bidang pendidikannya punya kompetensi yang baik, kebanyakan perusahaan masih mencari orang yang benar-benar sesuai pendidikannya.

Bagi sebagian mahasiswa yang baru lulus, ini adalah sebuah momok yang menakutkan. Bukan masalah uang, tetapi di rumah berhari-hari tanpa mengerjakan sesuatu merupakan masalah eksistensial. Namun masalah eksistensi ini bisa diredam sebenarnya dengan berkarya. Menyalurkan hobi, membantu pekerjaan rumah misalnya, walaupun sedikit namun kegiatan tersebut mampu meredam kepanikan seseorang akan eksistensinya ketika menyandang gelar sebagai pengangguran.

Jujur saja selepas saya tidak bisa membuktikan perkataan saya kepada orangtua kalau bisnis yang saya bangun bersama teman-teman akan berjalan ternyata mengalami kebangkrutan membuat saya down, apalagi ditambah melihat teman-teman yang sebelumnya bekerja kemudian mendapatkan pekerjaan --sedangkan saya malah keluar dari pekerjaan. Dan ketika saya berusaha mencari pekerjaan lagi malahan terasa amat susah. Namun saya tidak mau menjadi pribadi yang full time pengangguran, saya punya agenda rutin setiap harinya. Pagi saya membantu Ibu mencuci pakaian --pake mesin cuci, kemudian mengantar Ibu ke langganan jahit atau belanja ke pasar, dan kalau senggang saya membaca buku, artikel, main piano atau menulis. Dengan begitu kepanikan saya sebagai manusia penyandang gelar pengangguran sedikit berkurang.

Banyak dari mereka yang pengangguran merasa putus asa karena tidak mendapat pekerjaan, tetapi banyak juga yang akhirnya mereka bisa meningkatkan eksistensi mereka lagi. Contohnya seperti teman saya yang sudah menganggur selama setengah tahun, namun terus berikhtiar dan akhirnya berhasil masuk ke perusahaan multinasional besar. Kesabarannya membuahkan hasil yang nyata, perjuangannya berhasil, dan ia mampu membuktikan kepada orang-orang kalau ia punya potensi lebih.

Setelah saya bertemu keluarga dari teman saya tersebut dan berbincang, ternyata faktor terbesar yang membuat seseorang pengangguran merasa tertekan adalah dari orangtuanya. Ibu dari teman saya itu bercerita kepada saya, selama teman saya menganggur, Ibu nya selalu memberikan support kepadanya, tidak pernah sekalipun Ibu nya bertanya "Kapan kamu kerja?". Ibu nya selalu punya cara untuk membesarkan hati sang anak yang notabene berkali-kali ditolak di perusahaan yang ia lamar. Ingat, seseorang yang sedang menganggur mempunyai beban mental yang besar, beban eksistensi kepada sekitar, dan jangan menambah beban mereka dengan pertanyaan atau ledekan yang menjatuhkan.

Di akhir tulisan ini saya ingin menguatkan diri saya lagi untuk selalu ingat kalau Tuhan punya waktu yang tepat untuk hambanya. Termasuk masalah mendapatkan pekerjaan. Masalah rezeki setelah kita berusaha maksimal biarkan Tuhan yang mengatur. Do our best and let God do the rest.
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 saran:

Post a Comment