Wahid Sabillah's

Personal Blog

Mari Kita Mengenang

Leave a Comment
"Kamu ini cantik banget si, namanya siapa?"
"Sarah."
"Pakai baju apa nih? Princess ya?"
"Princess Elsa, tante."

Begitulah kira-kira percakapan yang saya dengar Jum'at kemarin saat ada acara Halloween di kantor. Pada acara itu employee membawa keluarganya untuk menyemarakan acara Halloween, ada yang membawa istrinya, anaknya, ada yang membawa saudaranya, keponakannya, anak tetangganya, pokoknya semua yang dianggap sebagai keluarga dibawa di acara tersebut.

Ini adalah pengalaman pertama saya ikut dalam acara Halloween. Sempat kikuk ketika mendapatkan email kalau semua employee harus memakai baju ala film horor, namun akhirnya lega karena gak semuanya memakai baju gak jelas itu. Sebagai anak baru, menyemarakan acara adalah cara untuk lebih dekat dengan employee lain, ya saya corat-coretlah muka saya.

Anak-anak berkumpul di dalam ruang meeting yang disulap menjadi arena bermain anak. Dari situ saya simpulkan ada beberapa jenis anak dalam acara itu:

  1. Anak yang pemalu.
  2. Anak yang hyperactive
  3. Anak yang biasa-biasa aja
  4. Anak yang ..... tunggu, saya menemukan seorang anak perempuan yang hanya diam dengan mata sayu.
Di antara anak yang berlari-lari perhatian saya tertuju dengan seorang anak perempuan yang hanya duduk diam dan mengamati sekeliling. Saya yakin anak itu bukan anak yang pemalu, ia hanya asik melihat teman-temannya bermain. Sampai akhirnya saya melihat anak tersebut dihampiri oleh Ayahnya, lalu kemudian digendong Ayahnya.

Anak perempuan yang memakai gaun layaknya Princess itu tidak bisa berdiri, tidak bisa berucap, tetapi tahu kalau Ayahnya sangat mencintainya. Kendati ia memiliki kekurangan, bukan berarti ia tidak bisa merasa. Saya melihat ia menciumi pipi Ayahnya, dan Ayahnya menciumi pipi anaknya.

By. Google

***

Dini harinya, setelah acara tersebut selesai, saya menjumpai anak yang masih mengamen di lampu merah. Pukul setengah dua pagi, dan anak itu masih mencari uang untuk -mungkin- makan esok harinya, atau -mungkin- Ibu nya belum mendapatkan uang yang cukup untuk mudik ke kampung halamannya.

***

Esok harinya, saya melihat seorang anak perempuan yang menggandeng kakeknya berjalan keluar dari cafetaria. Pikiran saya terbang ketika saya merengek meminta game console kepada kakek saya. Game console pertama yang saya punya adalah pemberian dari Kakek dan Nenek saya sewaktu saya TK. Tamagochi yang saya punya juga pemberian mereka. 

Saya ingat betul, ketika Kakek saya pulang sehabis mengambil pensiunan di daerah Kota, beliau selalu membawa mainan untuk saya. Pistol mainan, layangan, dan permen warna-warni adalah oleh-oleh yang selalu beliau bawa ketika pulang mengambil gajian. Saya beruntung mempunyai mereka yang mencintai saya, kendati mereka sudah tidak ada di dunia, saya yakin mereka masih melihat saya dari alam sana.

***

By. Google


Saya patut bersyukur mempunyai masa kecil yang indah, merasakan penuh cinta kasih dari ayah, bunda, kakek, nenek, tante, om. Saya bersyukur karena diluar sana masih ada anak-anak yang kehilangan keluarganya, anak-anak yang ditinggal oleh ayah dan bunda nya sejak kecil, tidak tahu rupa ayah dan bunda nya. Saya bersyukur masih memiliki orangtua yang lengkap, selalu hadir dalam pengambilan rapor, yang menyambut saya ketika pulang sekolah, yang menyiapkan sarapan, dan yang mengantar saya sampai pintu rumah dan melepas saya pergi ke sekolah.

Teman, hidup ini ternyata epic banget ya. Dan tumbuh menua adalah hal yang paling membahagiakan sekaligus menyakitkan. Kalau saya mengutip dari Linimasa.com ada kalimat
"Dan kita tidak pernah mengira, bahwa ternyata kenangan masa lalu yang membuat kita hidup di masa depan. Bahwa ternyata, kehidupan di masa depan akan ditentukan oleh apa yang bisa kita kenang di masa lalu. Masa kini akan menjadi masa lalu di masa depan."
Kenangan masa kecil adalah kenangan yang paling susah dilupakan. Upacara bendera waktu SD, agenda tidur siang sepulang sekolah, main layangan di lapangan, main kelereng, modus telpon gebetan nanya PR waktu SMP, jalan pagi setelah sahur bersama teman-teman, dan...

"Mas, minta duit dong mas buat makan." Seorang anak menghampiri saya yang sedang menulis draft tulisan ini di salah satu warung tenda. 

***

Selamat jalan Pak Raden, terimakasih sudah memberikan beribu warna di masa kecil saya. You'll be Missed.
By. Google

Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 saran:

Post a Comment