Wahid Sabillah's

Personal Blog

Untuk Tuan Takur

Leave a Comment
Hatinya adalah rumah. Tempat yang paling nyaman untukku pulang. Istirahat, makan, mandi dan menceritakan kegelisahan-kegelisahan yang sering menghantuiku setiap waktu. Matanya adalah matahari di kala senja, yang menenangkan sekaligus mampu membius diriku. Ucapannya bagaikan mantra yang mampu menghipnotis diriku sehingga aku yang tidak bisa diam mampu duduk berlama-lama hanya untuk mendengarkannya bercerita.

Hari-hari saat bersamanya seperti sungai dengan airnya yang jernih mengalir, di tepi sungai banyak tumbuhan dan bunga warna-warni. Bersamanya hidupku indah.

Sampai pada saatnya.

Status sosial memaksa memisahkan hati kami. Aku yang hanya seorang pelukis, tidak mampu mengambil hati Tuan. Berkali-kali Tuan berusaha memisahkan kami, tapi kami selalu punya cara untuk bertemu kembali.

Tuan tahu bagaimana rasanya ketika cinta dibatasi tembok yang tinggi? Rasanya seperti mencoba menggapai langit tanpa alat. Tanpa pesawat, tanpa puncak gunung tinggi menjulang. Susah payah kami berjuang untuk menggapainya, tetap tidak bisa juga dan mustahil. Status sosial membatasi kami. Pembatas itu tinggi, tinggi sekali. Kami tetap tidak menyerah.

Kami mencoba bertahan. Terus mengorek dan merayu hati sang pemisah, tapi kami tetap tidak menemukan titik cerah.

Sampai pada akhirnya.

Inilah jalan yang sudah kami sepakati. Kelak, jika tuan menemukan dan membaca tulisan ini. Cobalah lihat ke dalam diri. Cobalah pahami sekali lagi. Lalu tengoklah keluar. Berjalanlah lurus. Tuan akan temukan kami terbaring di dasar jurang.
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 saran:

Post a Comment