Kita sudah tidak bersama-sama selama lima tahun. Namun kita berjanji akan bertemu kembali lima tahun lagi setelah kita memutuskan untuk berpisah.
Kemarin adalah kali pertama aku bertemu dengannya lagi, di suatu taman tempat kita bersua dan menjalin cinta. Kita bertemu dikala senja, saat burung-burung kembali ke sarangnya, saat langit berwarna jingga keemasan. Ia datang mengenakan gaun terbaik berwarna hitam, ia tampak cantik. Sudah lama aku tidak melihatnya mengenakan gaun hitam yang membuatku jatuh hati kepadanya. Kita bertemu untuk bertukar kabar.
"Kita hanya punya waktu satu jam. Bagaimana kalau kita bagi? Selama setengah jam aku yang duluan bercerita tentang kabarku dan kamu mendengarkan dan menanggapi, dan setengah jam lagi giliran kamu yang bercerita dan aku yang mendengarkan dan menanggapi." katanya.
Ia mulai bercerita tentang dirinya selama lima tahun belakangan. Ia menceritakan tentang masa-masa kuliahnya yang sudah berakhir, ia menceritakan tentang kekasihnya yang sudah empat tahun menjalin kasih dengannya dan selama empat tahun pula ia tidak mengenalkan kekasihnya kepada orang tuanya.
"Kamu beruntung pernah aku kenalkan ke Mama sewaktu kita sama-sama. Kamu beruntung pernah aku kenalkan ke Mama sebagai kekasih." Akupun tersenyum saat mendengar ia berkata seperti itu.
Aku ingat persis kejadian itu, pada suatu malam, lewat pesan singkat, ia bercerita ingin melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan. Ia menanyakan kepadaku kira-kira apa yang harus ia lakukan. Sayangnya pada malam itu aku tidak punya ide apapun untuk aku berikan kepadanya, sampai pada akhirnya pada pesan singkat selanjutnya ia mengatakan kalau ia baru saja mengaku kepada ibunya kalau ia telah memiliki kekasih, dan ia menyebutkan namaku sebagai kekasihnya. Saat ia mengirimkan pesan itu, aku tidak bisa tidur malamnya. Beberapa kali aku baca pesan singkat yang ia kirimkan itu, dan aku seperti orang gila yang senyum-senyum sendiri malam itu.
Tidak sampai setengah jam cerita-ceritanya sudah selesai, dan menurutnya sudah tidak ada lagi cerita yang harus ia sampaikan kepadaku, dan sekarang giliranku bercerita.
Aku menceritakan seberapa nelangsanya diriku ketika ditinggalnya lima tahun yang lalu. Aku menceritakan selama hampir lima tahun aku masih suka kepikiran dirinya dan berujung dengan susah tidur. Aku menceritakan kalau berat badanku turun. Memilih tidak lagi bersama dirinya lima tahun yang lalu adalah langkah bunuh diri yang aku buat kala itu. Aku harus menanggung sedih itu sendirian. Saat aku susah tidur karena kenangan tentangnya yang tidak henti-hentinya menghantui pikiranku, aku hanya bisa membaca kembali surat-surat cinta yang pernah ia kirimkan.
Kamu harus tahu, beberapa bulan sebelum pertemuanku dengannya kemarin, aku masih suka kepikiran tentangnya dan berakhir dengan susah tidur.
Aku juga menceritakan kepadanya kalau selama beberapa tahun belakangan, dia adalah manusia satu-satunya yang paling aku hindari di bumi. Ketika mendengar aku berkata seperti itu, ia tertawa dan berkata "Kenapa? Aku tidak menggigit." Ada dua alasan yang sebenarnya aku miliki, yang pertama aku takut jatuh hati dan susah tidur lagi --sementara tidak bertemunya saja sudah membuat aku susah tidur--, dan yang kedua aku takut dibakar api cemburu kalau saja ia mengenalkan kekasih barunya kepadaku. Tetapi alasan kedua aku urungkan dan hanya menceritakan alasan pertamaku kepadanya.
Kita juga sempat membahas tentang pernikahan. Ia menceritakan kalau ia sedang menabung untuk resepsi pernikahannya. Ia menceritakan tentang biaya pernikahan yang mahal. Aku menceritakan tentang impianku ketika menikah nanti. Aku bercerita tentang resepsi impianku kepadanya. Aku bercerita agar orang-orang yang datang ke pernikahanku nanti tidak usah membawa amplop berisi uang. Mereka cukup datang membawa buku bacaan sebagai sumbangan acara resepsi, agar setelah acara resepsi aku bisa membuka perpustakaan umum.
Ketika mendengar aku bercerita seperti itu ia tertawa.
"Kamu sekarang nyastra banget." katanya sambil tersenyum manis.
"Ini semua karena kamu, karena surat-surat cintamu yang kamu berikan kepada aku lima tahun yang lalu."
Saat aku kehilangannya lima tahun yang lalu, aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku rasa tidak ada orang yang bisa mendengarkan aku bercerita. Pernah sekali waktu aku mencoba bercerita kepada teman-temanku tentang apa yang aku rasa pada waktu itu, mereka malah tertawa mendengarnya. Kesedihanku menjadi hiburan bagi mereka.
Aku hanya bisa menuliskan kesedihan-kesedihanku di buku setiap malam. Setiap aku mengingatnya dan berujung dengan susah tidur. Kadang aku menuliskan puisi dan memainkan piano untuk mengurangi kesedihan pada diriku. Dengan menuliskan kesedihan-kesedihanku itu, secara langsung aku belajar menulis dan jadi suka membaca.
***
Tidak terasa satu jam berlalu, lampu-lampu di sekitar tempat kita bertemu mulai menyala. Tempat kita bertemu mendadak romantis, aku tidak suka. Aku tidak ingin malam setelah aku bertemu dengannya diriku kembali tidak bisa tidur. Sudah cukup hampir lima tahun aku tidak bisa tidur karena terus dibayang-bayangi hantu kenangan.
Akhirnya ia pun pamit pergi untuk pulang. Ia berjalan menjauh, dan seketika aku teringat tulisan dari buku Aan Mansyur.
"Hari-hari seperti hujan, menebar wangi tanah basah sejenak, lalu dingin. Lalu asing. Kau tidak perlu khawatir pada perihal-perihal kecil yang akan membuatmu menyesal. Sudah kuhabiskan tabungan membeli baju penghangat, kopi pahit, dan buku-buku puisi. Masukkan hari-hari itu ke koper atau lipat rapi di buku catatan, juga foto-foto di ruang tengah dan di atas meja riasmu. Pergilah. Pergilah. Kau boleh menoleh, jendela tidak kukancing. Kau bisa melihat tubuhku mengecil sebelum kau pelan-pelan ditelan tikungan jalan."
Aku berharap, pertemuanku dengannya kemarin mengembalikan malam-malamku, malam-malam yang membuatku bisa memejamkan mata untuk istirahat, kendati sampai pada aku menuliskan cerita ini, aku masih memikirkan tentang pertemuan kita kemarin.
0 saran:
Post a Comment