Wahid Sabillah's

Personal Blog

Wanita Penyayang Hujan

Leave a Comment
Pandangannya tertuju ke jendela kamarnya, ia berharap hari ini hujan. Tetapi langit belum memberikan pertanda kalau hari ini akan turun hujan. Langit tampak cerah, tidak ada riak awan, tidak ada suara gemuruh, tidak ada pertanda kalau akan turun hujan.

Wanita itu tertegun menunggu hujan yang sudah lama ia nantikan. Sudah tujuh bulan hujan tidak hadir di rumahnya. Sudah tujuh bulan hujan tidak menemui dirinya yang sudah amat rindu menantikan derai-derai air yang membuat genting rumahnya melagu, mengeluarkan melodi indah nan syahdu.

Ia sangat sayang dengan hujan. Sewaktu kecil si wanita selalu pergi bermain di halaman ketika hujan datang, tidak peduli hari esok akan terkena flu, demam, dan tidak bisa pergi ke sekolah. Baginya, hujan adalah lambang keceriaan.

Baginya tidak ada seorang-pun, satu benda-pun, yang mengerti dirinya kecuali hujan. Bahkan lelaki yang saat ini menjadi suaminya tidak bisa mengerti dirinya.

Pernah suatu malam, dan kala itu hujan turun dengan derasnya, Si wanita bercerita dengan bulir-bulir air hujan yang menempel di jendela kamarnya. Ia bercerita tentang hari-harinya yang membosankan, ia bercerita tentang suaminya yang tidak mengerti dirinya, ia bercerita dan kemudian ditutup dengan isakan tangis yang tersamar bunyi hujan.

Si Wanita menyayangi semua yang ditimbulkan oleh hujan, aroma petrichor, cucian yang basah lagi karena hujan, hingga banjir yang ditimbulkan. Ya, ia suka banjir karena hujan. Banjir karena hujan ia anggap sebagai tanda cinta dari hujan akan dirinya. Itulah cinta yang sejati baginya. Membuat manusia nelangsa, pusing, sakit, tetapi masih bisa dijumpai senyum di tengah banjir. Ia selalu berharap hujan yang membuat sekelilingnya banjir.

"Hujan, kapan kamu akan datang?"


*Ditulis saat kemarau panjang yang membuat air di rumah kering.
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 saran:

Post a Comment